Sebagaimana kita ketahui, Aceh sering sekali diidentikkan dengan Islam. Gelar Seuramoe Meukah yang ditabalkan untuk provinsi ini pada masa lalu hingga hari ini menjadi bukti untuk itu. Pemberian hak untuk memberlakukan syariat Islam dalam era otonomi khusus saat ini menjadi bukti lain dari pengindentikan Aceh dengan Islam. Karenanya, sebagai sebuah komunitas muslim, masyarakat Aceh tentu saja melihat segala sesuatu dari sudut kacamata Islam. Mereka sangat percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kekuasaan Allah tak berbatas. Hal ini bukanlah sebuah jargon semata. Allah-lah yang menghidupkan dan mematikan seseorang, Allah juga yang memberi rezeki pada seseorang untuk tetap survive, bertahan hidup, di dunia fana ini.
Pemikiran tentang kemahakuasaan Allah sebagai khalik dan keterbatasan manusia sebagai makhluk banyak sekali diungkapkan dalam hadih maja Aceh. Hal ini, misalnya dapat dilihat dalam hadih maja, “Allah bri, Allah boh” ‘Allah yang beri, Allah pula yang ambil (buang)’.
Hadih maja itu merefleksikan pandangan orang Aceh terhadap keberadaan sesuatu. Hadih maja ini digunakan untuk menyadarkan dan mengingatkan seseorang bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Karenanya, jangan terlalu sombong bila mendapatkan sesuatu dan jangan pula bersedih saat sesuatu itu hilang. Pada awalnya kita memang tidak punya apa-apa dan pada akhirnya kita pun akan kembali tidak memiliki apa-apa.
Konsep pemikiran di atas selanjutnya dilahirkan dalam bentuk hadih maja: “ujôb teumeu’a ria teukabô, di sinan nyang le ureueng binasa” ‘ujub, summah, riya, takabur, di situ yang banyak orang binasa’.
Hadih maja ini secara tersirat mengungkapkan bahwa ada kekuasaan lain yang mengatur kehidupan manusia, yaitu Allah swt. Karena itu, kita tidak perlu sombong, apalagi takabur. Kesombongan dan ketakaburan akan membuat seseorang menjadi celaka, tidak dihargai, dan akan mendapatkan berbagai sanksi, baik dari anggota masyarakat di sekitar maupun Tuhan sebagai penguasa yang tak berbatas kekuasaannya.
Konsep ketakterbatasan kekuasaan Tuhan versus kenisbian/ keterbatasn manusia juga berpengaruh pada pola pandang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ritual kehidupan. Hal ini, misalnya, terungkap dalam hadih maja, ”Langkah raseuki peuteumuen mawot, h’ana kuasa geutanyo hamba” ‘langkah, rezki, pertemuan, maut, di luar kekuasaan kita (hamba Allah)’.
Hadih maja ini digunakan untuk mengingatkan bahwa setiap orang mempunyai suratan kadar masing-masing sejak ia belum lahir. Hal ini merupakan pengejawantahan makna yang terkandung dalam salah rukun iman, yaitu percaya pada qada dan qadar. Karenanya, sebagai manusia kita idealnya tidak merasa pongah, tidak sombong, saat Allah memberi kesempatan untuk hidup di atas dunia yang fana ini. Kepongahan dan kesombongan akan membuat orang lupa diri. Akan membuat orang merasa seakan memiliki jatah hidup dan kekuasaan selama-lamanya di dunia ini. Dan, hal itu akan disindir melalui hadih maja “Kullu nafsin geubeuet bak ulèe, nyan barô tathèe tatinggai dônya” ‘Kullu nafsin dibacakan di kepala, baru kita sadari harus meninggalkan dunia’.
0 komentar:
Posting Komentar