Orang Aceh akrab dengan sastra. Mereka memiliki kedekatan dengan pengajaran-pengajaran reliji. Walaupun, secara praktik, mereka tetap sebagai manusia. Dalam arti sebagian begitu teguh dengan begitu banyak pelajaran kebaikan yang diajarkan sejak kecil, tetapi sebagian juga bangga menjadi ‘manusia’, sebab manusia tidak perlu repot untuk jauh dari kesalahan, alasannya kesalahan itu manusiawi.
Filosofi Ureung Aceh yang ingin saya angkat berhubungan dua benua tipikal karakter orang Aceh.
Umumnya, di mana-mana, di hampir setiap wilayah Aceh, khususnya di daerah-daerah yang memang masih kental dengan keacehannya. Filosofi itu sudah diajarkan dari sejak kecil. Bahkan dari sejak kecil, seorang anak ureung Aceh akan diperdengarkan hikayat-hikayat sahabat Nabi. Akan dilantunkan Ibu dan Ayahnya tentang cerita-cerita epos yang dinyanyikan. Kalau pengalaman saya pribadi, tidak terlalu ingat saat itu sudah berusia berapa, tetapi saya masih bisa mengingat jelas ketika itu badan kecil saya berada dalam ayunan dengan sebuah kompeng di mulut. Ibu dan Nenek saya kerap mengayun-ayun ayunan yang menjadi tempat saya tidur sambil membaca shalawat dalam Bahasa Aceh dan cerita-cerita hikmah, sampai saya terlelap. Mencoba menaksir, itu saya alami saat berusia 3 tahun. Jika anda menggunakan logika,”ah, 3 tahun mana mungkin pengalaman dalam usia begitu bisa membekas kuat.” Mungkin anda benar.
***
Filosofi itu diajarkan berupa lantunan cerita:“Cut poe Fatimah, aneuek Sang Nabi. Putroe rasuli inoeng sayyidina Ali. Hasan ngoen Husen cucoe di Nabi, nyeung ba ileumee dari tutoe Nabie…..” (tidak saya terjemahkan karena cita rasa bahasa yang berbeda).
Cerita itu bisa sampai demikian panjang. Tidak hanya dalam ayunan. Dalam orolan sehari-hari juga, jika itu melibatkan orang tua dan anak-anak atau pemuda. Berbagai hadih maja (pepatah Aceh) akan meluncur dari lidah orang-orang tua. Dan itu sebagai nasihat untuk kemudian menjadi prinsip bagi anak muda yang memang cenderung rentan.
Beberapa dari yang masih sangat saya ingat:
- Bek groep guda, grep lee cangguk. (Terj: Jangan kuda melompat, katakpun ingin melompat seperti kuda).
Satu sisi peribahasa ini menyiratkan pesimisme. Tetapi kalau dilihat dari perspektif agama, ini merupakan pelajaran untuk selalu jujur mengukur diri sendiri. Sehingga, objektifitas mengukur diri sendiri itu menjadi daya untuk membuat seorang aneuk Aceh bisa mendapatkan hidup yang baik.
- Pakiban ue meunan minyeuk. (Ter: Minyak kelapa ditentukan seperti apa kelapanya).
Ini menjelaskan tentang begitu pentingnya peran orang tua. Betapa, tanpa ada keseriusan, sikap penuh hati, anak-anak mereka tidak akan bisa tumbuh orang yang baik. Sebab orang tua juga yang pertama sekali mewarnai anak-anaknya. Peribahasa ini sering menjadi nasehat untuk anak muda yang ingin menikah sebagai landasan filosofis agar saat sudah berumah tangga benar-benar memperhatikan persoalan pendidikan anak.
- Jak ubee leuet tapak, duek ubee leuet punggoeng. (Terj: Berjalan sesuai dengan kemampuan kaki, mengambil tempat duduk sesuai kebutuhan saja).
Menjelaskan tentang keharusan untuk menghindari keserakahan dalam hidup. Sebab, selalu bijak dalam menyesuaikan segala sesuatu diyakini menjadi awal untuk membuat hidup lebih berkah. Jangan mengambil yang bukan hak, dan tidak rakus dalam hidup. Ambil setiap sesuatu hanya sesuai kebutuhan. Ini bertujuan agar anak-anak Aceh bisa terhindar dari keresahan akibat dari keserakahan.