Dari sekolah dasar hingga SMA, para guru selalu punya jurus jitu dalam menanamkan optimisme pada murid didiknya, sang guru selalu berucap “kamu sama-sama makan nasi, kenapa tidak bisa seperti mereka (menrujuk pada siswa-siswa berprestasi), kata-kata motivasi seperti di atas sebenarnya kurang relevan dengan kondisi sekarang.
Kemudian saat melihat realitas kemiskinan di kolong jembatan, bantaran sungai, kampung, maka muncul pertanyaan, kenapa mereka miskin? Para kaum optimis namun punya cita rasa kepekaan sosial yang rendah tentu akan menjawab, “mereka orang malas yang kurang berusaha”.
Kita tidak bicara seperti apa yang sering dilontarkan dari para lidah motivator ulung, tapi kita bicara dengan melihat realitas. Memang benar sebagian dari mungkin mereka malas, namun ada yang faktor besar penyebab mereka terus miskin, yah jawabanya memang dimiskinkan, lantas siapa yang memiskinkan? Jelas negara. Semua regulasi pemerintah hampir tak satu pun berpihak pada kaum miskin, semua akses “menjadi kaya” telah ditutup rapat bagi mereka.
Apakah seorang petani miskin yang bekerja keras sejak subuh hingga menjelang petang itu seorang pemalas? Pertanyaan selanjutnya, apakah mereka bodoh? Mungkin mereka mereka memang bodoh, para petani memang tidak tahu menahu bursa komoditas, inflasi, sistem distribusi, investasi pertanian, dan sebagainmya.
Tapi pertanyaan yang lebih mendasar, kemana peran negara dalam kondisi tersebut? Rasanya percuma juga kalupun petani pintar dengan sistem yang ada saat ini, saat harga pupuk menjadi permainan, proyek pertanian hanya jadi bancakan, sekali lagi, optimisme tak cukup bagi petani.
Lingkaran setan kemiskinan takkan pernah terputus. Kemiskinan si petani akan diwariskan dan dinikmati pada anak cucunya. Dan jalan merubah nasib tentu di pundak anaknya, caranya? Ya dengan sekolah. Lebih parahnya, satu-satunya akses yang paling memungkinkan dalam merubah nasib, yakni pendidikan, telah diliberalisasi dan dikomersilkan dengan dalih standar internasional.
Kembali pada optimisme, logikanya, bagaimana mungkin seorang miskin, meski dengan otak encer dan kemauan sekeras baja bisa bertahan di sekolah dengan bayaran jutaan untuk SPP, uang gedung, uang LKS, dan sebagainya. Kalaupun ada beasiswa, paling hanya segelintir orang miskin yang “beruntung”, itu pun banyak salah sasaran. Jangan tanya kemana dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Realita lapangan tentu berbicara lain.
Sekarang uang bicara lebih banyak dalam semua hal mencapai mimpi. Hidup di negeri seperti Indonesia, optimisme, berpikir positif, dan kerja keras seakan percuma. Zaman sekarang, hampir tak ada celah akses bagi kaum miskin merubah statusnya, akses pendidikan sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan justru makin sempit, bahkan mustahil.
0 komentar:
Posting Komentar