Piala AFF sedang digelar. Gemuruh patriotisme sekalipun tak sehebat dua tahun lalu terus memercik. Apalagi kalau bukan perseteruan dengan musuh bebuyutan Malaysia. Berita berbau provokasi entah benar entah tidak ramai berseliweran di jagad maya. Sebenarnya apa yang menyebabkannya?
Sedikit berselancar ke masa lalu. Ketika saya duduk di bangku SMA, seorang guru Matematika selalu bangga menceritakan pengalamannya mengajar di Malaysia. Pada saat itu Malaysia banyak mendatangkan guru-guru dari Indonesia untuk mengajar disana. Sebuah cerita yang lain menyatakan bahwa perusahaan minyak Malaysia Petronas pada awal berdirinya juga belajar dari Pertamina. Cerita kejayaan masa lalu yang nyaris seperti dongeng. Sungguh berbeda dengan keadaan sekarang.
Pada saat ditugaskan dibagian Fiskal Luar Negeri antara tahun 2005-2007 saya hampir saban hari berhubungan dengan orang-orang yang berkepentingan dengan Malaysia. Baik para pelajar, mahasiswa warga Malaysia yang belajar di Indonesia, atau para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Mereka mempunyai kepentingan yang sama, membutuhkan transportasi udara untuk pergi pulang tujuan Indonesia-Malaysia. Yang membedakannya adalah, warga Malaysia mayoritas adalah mahasiswa yang belajar di Indonesia, sedangkan warga Indonesia mayoritas adalah TKI di Malaysia. Penampilan mereka tentulah kontras bagai bumi dan langit. Warga Malaysia adalah kaum terpelajar dari golongan orang-orang yang mampu secara ekonomi, sedangkan warga Indonesia adalah golongan kaum papa yang mengais rejeki di negeri tetangga, menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, buruh bangunan atau pembantu rumah tangga di Malaysia.
Setiap bertugas rasanya hati selalu saja bagai diiris sembilu. Ketika indra kita menjadi saksi melayani dua warga Negara dengan status social yang sangat kontras. Ada rasa kesal yang menggumpal-gumpal. Dalam hati mengumpat, betapa bodohnya kita. Kita mampu membuat warga Negara tetangga menjadi pintar, tapi kita justru tidak mempedulikan nasib warga sendiri. Kita membuang orang-orang tak berdaya mengais rejeki di negeri orang, karena kita tak mampu menciptakan lapangan kerja yang layak bagi mereka.
Sungguh mau muntah rasanya jika mendengar pejabat negeri ini yang tampil klimis selalu berkoar-koar menjuluki para TKI dengan sebutan Pahlawan Devisa. Kekejian yang luar biasa. Sungguh antara mulut mereka dengan hati mereka seperti ada cadas tebal yang memisahkannya. Bagaimana mungkin mereka tega menjuluki mereka pahlawan, sementara dari sebagian mereka teraniaya, dihargai rendah, bahkan banyak kasus-kasus pelecehan hingga penyiksaan dialami mereka.
Bayangkan, pada saat para TKI terpanggang matahari, bekerja memerah tenaga atau bahkan sedang menunggu maut sebagian para elite negeri ini justru pelesiran ke luar negeri. Studi banding katanya. Studi banding buat apa? Apa kepentingannya? Bukankah masalah yang lebih penting terlalu banyak yang dibiarkan bulukan tak diacuhkan? Pulau kita dicaplok, karya anak negeri dibajak mereka yang mengaku para wakil rakyat bungkam. Tak berdaya. Seperti mati suri.
Anehnya ketika bicara proyek, bicara kekuasaan, aksi jegal-menjegal, energy mereka seperti berjuta lipat dahsyat tak habis-habisnya. Lihatlah…saat para sebagian mereka berdebat disebuah acara televisi swasta yang provokatif yang dipandu pemandu senior acara bersuara serak. Mereka rata-rata tampil seperti Dewa, masing-masing merasa paling benar, paling hebat sehingga sumpah serapah, menjegal, menghujamkan belati kepada rivalnya menjadi sesuatu yang lazim. Tidak ada lagi sopan apalagi santun.
Dengan kondisi tersebuat layakkah kita menuntut dihormati bangsa lain, sedangkan kepada rakyat sendiri kebanyakan para penguasa Negara ini tak mempedulikannya. Bagaimana mungkin kita meminta dihormati, sementara kita tetap sibuk dan getol mengirim para “Pahlawan Devisa” hanya untuk menjadi jongos di negeri orang?
Saatnya kita memulai, membangkitkan kembali kejayaan masa lalu. Mulailah dengan bertanding diajang bergengsi AFF ini dengan santun dan bermartabat. Jangan layani hal-hal yang provokatif. Kalah atau menang, bukanlah masalah selama pertandingan berlangsung fair. Tunjukanlah bahwa kita bangsa yang pantas untuk dihargai!!
0 komentar:
Posting Komentar