Krisis pangan kembali mengancam dunia. Ini dipicu oleh sejumlah kejadian: kekeringan di Amerika Serikat, cuaca kering di Rusia dan eropa timur, banjir di sejumlah bagian di eropa, dan curah hujan tinggi yang melanda Afrika dan India. Katanya, situasi ini berpotensi mengulang krisis pangan terparah pada tahun 2007-2008. Saat itu, Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat indeks kenaikan harga sebesar 80% dari permulaan 2007 hingga pertengahan 2008.
Beberapa catatan menyebutkan, produksi jagung dan kedelai masing-masing turun 12% dan 8%. Kemudian harga kedua komoditas itu pasar juga naik: jagung naik 50% dan kedelai naik 30%. Kenaikan juga dipastikan berpengaruh pada berbagai produk turunan komoditas tersebut.
Produksi beras juga diperkirakan turun. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menurunkan perkiraan produksi beras dunia dari 488,2 juta ton menjadi 483,1 juta ton. Dua produsen beras terbesar dunia, Indonesia dan Thailand, mengalami penurunan produksi. Thailand bahkan menurunkan produksi berasnya sendiri.
Indonesia tidak bisa main-main dengan situasi ini. Akhir bulan lalu, produsen tahu-tempe dibuat repot oleh kenaikan harga kedelai. Ini membawa dampak luas. Maklum, tahu-tempe merupakan favorit mayoritas rakyat Indonesia. Ironisnya, pemerintah tak bisa berbuat banyak. Yang dilakukan justru langkah blunder: menghapuskan bea impor kedelai.
Kita, sebagian besar kebutuhan pangan Indonesia saat ini didapatkan melalui impor. Sebut saja: jagung, kedelai, gandum, beras, dan gula. Ini sangat ironis. Maklum, Indonesia dikenal sebagai negara agraris.
Menurut kami, situasi ini terjadi karena tidak bekerjanya politik pangan pemerintah. Politik pangan ini mestinya bermata dua: menaikkan kesejahteraan petani dan memastikan ketahanan pangan di dalam negeri.
Yang terjadi, pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi impor pangan. Ini terjadi lantaran Indonesia menjadi budak WTO. Paket liberalisasi itu dijalankan lewat skenario Agreement on Agriculture (AOA).
Dengan kebijakan itu, pemerintah tak lagi memproteksi pasar untuk produk pertanian dalam negeri. Produk petani kita tergilas oleh impor. Maklum, petani kita kurang didukung oleh modal dan teknologi. Akibatnya, produk pertanian kita kalah kompetifi oleh pangan impor.
Pertanian tak lagi ekonomis. Banyak petani yang beralih bekerja di sektor lain. Sudah begitu, kalaupun masih bertahan, mereka berhadapan dengan harga rendah. Pemerintah seakan tak mau ambil pusing dengan persoalan ini.
Masalah lainnya adalah dominasi korporasi dalam penguasaan produksi dan distribusi pangan. Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai pengadaan bibit dan agrokimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM menguasai sektor pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Sedangkan Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co menguasai bidang pengolahan pangan dan minuman. Ini juga termasuk dalam impor pangan. Impor kedelai, misalnya, dikuasai oleh PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang Cahaya Utama (GCU). Sedangkan Sedangkan Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco menjadi penguasa pasar ritel pangan.
Indonesia tak bisa menggantungkan kebutuhan pangannya pada impor. Maklum, harga pangan dunia sekarang tak semata ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran, melainkan juga oleh aksi spekulasi. Politik pangan global saat ini dikendalikan oleh segelintir korporasi. Dan, seperti anda ketahui, tujuan politik pangan mereka bukanlah untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, melainkan untuk akumulasi keuntungan (profit).
Kita harus mewaspadai situasi global itu. Kedepan, pemerintah Indonesia harus segera mengakhiri impor pangan. Pada saat bersama, pemerintah perlu menjamin akses petani terhadap tanah. Reforma agraria, seperti ditegaskan UU Pokok Agraria 1960, mendesak untuk segera dilaksanakan. Selain itu, pemerintah juga harus menggelontorkan kredit mikro untuk membantu petani, memberikan dukungan teknologi, dan menjamin pasar untuk produk pertanian dalam negeri.
0 komentar:
Posting Komentar