Namun, beberapa hari terakhir produksi tempe terganggu. Para pengrajin tempe menjerit-jerit akibat kenaikan harga kedelai. Mereka pun menggelar aksi mogok produksi hingga 27 Juli 2012 besok. Pasalnya, kenaikan harga kedelai telah memicu kenaikan biaya produksi. Banyak pengrajin tempe merugi dan terancam bangkrut.
Merespon persoalan ini, pemerintah pun mengambil langkah: menghapus bea-impor kedelai hingga 0%. Sebelumnya, biaya impor kedelai dipasang 5%. Dengan demikian, seperti diharapkan pemerintah, kenaikan harga kedelai di dalam negeri bisa diturunkan secara perlahan-lahan.
Indonesia memang importir kedelai. Hingga sekarang sekitar 60% kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dengan impor. Sebagian besar kedelai impor itu berasal dari Amerika Serikat (AS). Nah, akhir-akhir ini AS dilanda kekeringan. Produksi kedelai negeri Paman Sam tersebut merosot. Indonesia pun kena getahnya.
Ini sangat ironis. Indonesia adalah negara agraris. Kedelai, sebagai bahan baku sejumlah bahan pokok/makanan di Indonesia, mestinya sanggup diproduksi. Sayang, pemerintah gagal melakukan hal itu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Pertama, areal penanaman kedelai semakin berkurang. Banyak petani yang tidak tertarik lagi menanam kedelai. Maklum, mereka sering merugi akibat kebijakan pemerintah mengimpor kedelai dari luar: rata-rata biaya pengusahaan kedelai lokal mencapai Rp 5500 per kilogram. Sedangkan harga kedelai impor pada kondisi normal berkisar Rp 4000-5000 per kilogram.
Pemerintah seharusnya melindungi petani kedelai lokal. Namun, hal tersebut urung dilakukan pemerintah. Maklum, Indonesia—selaku anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)—diharuskan melaksanakan liberalisasi impor. Termasuk liberalisasi impor pangan melalui skema “Agreement on Agriculture (AoA).
Kedua, tidak ada dukungan teknologi yang memadai dari pemerintah. Produksi kedelai tentu memerlukan dukungan berupa bibit unggul, pemupukan, pengendalian dari organisme pengganggu (hama, penyakit, dan gulma), dan dukungan pada teknologi panen dan lain-lain.
Ketiga, tidak adanya “politik” pemerintah dalam kerangka meningkatkan produksi kedelai nasional. Untuk diketahui, kita punya 25 BUMN yang bergerak di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kenapa BUMN itu tidak dikerahkan untuk membantu produksi kedelai. Sebab, seperti diketahui, kedelai termasuk bahan baku penting bagi kebutuhan pangan rakyat.
Ketiadaan politik pemerintah juga nampak pada absennya kendali pemerintah terhadap harga pangan, termasuk kedelai. Pemerintah seakan benar-benar bertekuk-lutut di hadapan mekanisme pasar. Akibatnya, banyak pihak—termasuk korporasi asing—turut ‘bermain’ dalam memainkan harga kedelai demi tujuan menggali keuntungan sebesar-besarnya.
Kedelai sangat vital bagi rakyat Indonesia. Untuk itu, pemerintah mestinya punya “politik” yang memastikan ketersediaan kedelai bagi kebutuhan dalam negeri. Untuk lepas dari ketergantungan impor memang tidaklah gampang. Akan tetapi, untuk kepentingan jangka panjang, maka sudah saatnya pemerintah berfikir untuk meningkatkan produksi kedelai.
Pada tahap pertama, pemerintah bisa menambah luas areal penanaman kedelai hingga minimal 2 juta hektar. Bersamaan dengan hal itu, pemerintah juga memberikan dukungan modal dan teknologi kepada petani. Perusahaan negara (BUMN) juga perlu didorong untuk peningkatan produksi kedelai ini.
Pada tahap selanjutnya, pemerintah mestinya mulai mengurangi impor dan menerapkan proteksi terhadap produksi kedelai lokal. Pemerintah juga harus memastikan proses distribusi kedelai agar tidak dimainkan oleh “spekulan” dan para penimbun. Tak kalah pentingnya, pemerintah mestinya sudah memikirkan bentuk pengembangan pengelolaan kedelai secara luas. Termasuk modernisasi teknologi pembuatan tempe dan tahu.
0 komentar:
Posting Komentar