Banyak orang percaya pada keunggulan militer semata. Bagi mereka, negara yang kuat mestilah punya kekuatan militer yang kuat pula. Dan, tentu saja, hal itu akan diukur dengan keberadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista).
Tetapi, tahukah anda? Jepang, negeri samurai itu, justru pernah dipersatukan oleh samurai tak berpedang. Toyotomi Hideyoshi nama samurai itu. Ia hanya bersenjatakan kecerdasan dan keahlian negosiasi untuk menaklukkan lawan-lawannya.
Ingatlah sejarah perjuangan rakyat Vietnam. Vietnam, negeri kecil yang mayoritas rakyatnya petani itu, sanggup mengalahkan negara Imperialisme Amerika Serikat yang disokong dengan militer dan persenjataan modern. Tidak usah jauh-jauh. Rakyat Indonesia juga punya kisah heroik melawan kolonialis Belanda.
Kita akan berbicara soal ketahanan suatu bangsa. Ini adalah soal bagaimana suatu bangsa bisa mempertahankan diri dari segala macam ancaman. Biasanya, untuk urusan semacam ini, pikiran orang langsung tertuju pada Alutsista. Sehingga, bagi mereka, penguatan ketahanan nasional mesti ditempuh dengan modernisasi alutsista.
Bung Karno punya pendapat lain. Baginya, ketahanan suatu bangsa haruslah dipupuk dari tiga hal: ketahanan politik (politieke weerbaarheid), ketahanan ekonomi (economische weerbaarheid), dan ketahanan militer (militair weerbaarheid).
Yang pertama, soal ketahanan politik (politieke weerbaarheid), bagi Bung Karno, suatu bangsa mestilah punya sikap politik, rasa politik, perasaan politik (political feeling), ideologi politik, dan aksi politik sebagai sebuah bangsa.
Artinya, bangsa Indonesia itu harus punya kesadaran politik sebagai bangsa Indonesia. Indonesia sebagai sebuah entitas politik. Dengan begitu, ia tidak merasa sebagai bagian atau perpanjangan dari politik bangsa lain.
Bangsa yang bebas secara politik, kata Bung Karno, mestilah selalu merasa bebas dari tekanan polik bangsa manapun. Politiknya tidak boleh terjajah oleh politik bangsa lain dalam bentuk apapun. Salah satu contohnya: kita jangan menjiplak aturan-aturan politik dari negara luar, apalagi negeri-negeri imperialis.
Dalam konsep demokrasi, misalnya, negara merdeka itu tentu tidak akan menjiplak begitu saja konsep demokrasi dari luar. Apalagi, jika konsep demokrasi tersebut belum tentu cocok dan sesuai dengan karakteristik bangsanya. “Cocok bagi mereka, belum tentu bagi kita,” kata Bung Karno.
Yang kedua, soal ketahanan ekonomi. Ketahanan ekonomi, kata Bung Karno, menyangkut usaha menyusun ekonomi yang merdeka (nasional dan demokratis), yakni bersih dari sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme, sebagai prasyarat menuju ekonomi yang benar-benar bisa mensejahterakan seluruh rakyat.
Salah satu contoh dari ketahanan ekonomi adalah bagaimana memproduksi kebutuhan rakyat kita. Bung Karno mencontohkan, masih banyak wanita Indonesia yang membeli bedak dari luar negeri. Padahal, bedak itu punya bahan-bahan yang tersedia di Indonesia dan sangat mungkin untuk dibuat sendiri.
Yang ketiga, mengenai ketahanan militer. Ini bukan hanya soal membangun kekuatan militer kita dengan persenjataan modern. Yang lebih penting lagi, kata Bung Karno, bagaimana kita bisa memproduksi senjata kita sendiri.
Juga, tak kalah pentingnya, bagaimana menanamkan dalam sanubari bangsa kita semangat dan kesediaan untuk mempertahankan kemerdekaan tanah-air. Sehebat apapun sebuah angkatan perang, jikalau tidak dilandasi oleh semangat dan patriotisme, maka tetap saja lemah dan gampang dihancurkan.
Bung Karno banyak belajar soal ketahanan nasional dari Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Kedua tokoh ini dianggap punya konsep ketahanan nasional yang bagus. Bung Karno, misalnya, mengutip Ho Chi Minh, bahwa pertanahanan nasional terbaik adalah pertahanan yang mempergunakan pengalaman dan pengetahuan bangsa itu sendiri.
Jadinya, kata Bung Karno, bagaimana kita mengetahui dan mempergunakan pengetahuan dan pengalaman rakyat itu sendiri. “The best school for defence is the school of life”. Kita dituntut mengetahui tanah air kita: geografi, mentalitas rakyat, kultur, kekuatan ekonomi, dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar