Sejujurnya saya cukup heran ketika membaca berita di website VOA Indonesia yang berjudul Harga Kedelai Mahal, Tahu Tempe Langka beberapa hari yang lalu. Bagaimana mungkin negara dengan potensi alam yang sangat melimpah seperti Indonesia ini bisa sampai mengalami krisis kedelai?
Idealnya, kalau dulu waktu zaman orde baru saja bangsa kita sudah bisa swasembada pangan, semestinya bangsa kita sekarang merupakan salah satu eksportir pangan terbesar di dunia. Bukannya malah mengimpor bahan pangan secara besar-besaran. Saya sendiri cukup kaget membaca berita lain di website VOA Indonesia yang berjudul Krisis Pangan Ancam Indonesia . Di sana sebutkan kalau ternyata ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional utama terhadap impor juga cukup besar seperti kedelai (70 persen), garam (50 persen), daging sapi (23 persen), dan jagung (11,23 persen). Logiskah jika negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai terpanjang keempat di dunia mengimpor garam sejumlah 50% dari total kebutuhan dalam negerinya?
Saya yakin, krisis pangan yang beberapa waktu lalu terjadi bukan terjadi begitu saja. Pasti ada banyak faktor penyebab yang mempengaruhinya. Berikut beberapa analisis tentang penyebab krisis bahan pangan yang terjadi beberapa saat yang lalu :
1. Pemenuhan Kebutuhan Pangan yang Terlalu Mengandalkan Produk Impor
Berdasarkan keterangan yang saya baca dalam salah satu berita di website VOA Indonesia, dari total kebutuhan kedelai sebesar 3 juta ton per tahun, lebih dari 2 juta ton diantarannya merupakan produk impor. Sebuah fakta yang cukup menyedihkan jika melihat potensi pertanian Indonesia yang sangat melimpah.
Untuk menekan harga pangan di pasaran dalam jangka pendek, impor mungkin bisa jadi solusi paling cepat. Tapi solusi semacam ini hanya bersifat reaktif. Dan seringkali solusi reaktif tidak cocok untuk digunakan solusi dalam jangka panjang. Bahkan sebaliknya, hal itu bisa membuat para petani dalam negeri semakin merugi. Karena selama ini terbukti produk impor lebih murah dan lebih berkualitas dari produk lokal. Selama kualitas produk pangan dalam negeri belum setara atau lebih baik dibandingkan produk impor, ada baiknya aktivitas impor dikurangi kuantitasnya.
Memang benar, tidak ada yang salah dengan aktivitas impor. Apalagi jika usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut benar-benar sudah dilakukan secara maksimal. Hanya saja, jika aktivitas impor bahan pangan seperti ini terus menerus dilakukan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti bangsa Indonesia akan nyaman untuk menjadi negara importir tanpa ada usaha untuk melakukan evaluasi dan improvisasi produksi pangan dalam negeri.
Dengan segala potensi alamnya yang melimpah ruah, pemenuhan kebutuhan pokok seperti halnya pangan semestinya dilakukan secara mandiri oleh pemerintah. Karena pemenuhan kebutuhan pokok merupakan salah satu standar kemandirian suatu bangsa. Kalau pemenuhan kebutuhan pokok saja kita belum bisa mandiri, besar kemungkinan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat sekunder seperti halnya sarana transportasi, teknologi, dan semacamnya pun kita masih belum mandiri.
2. Jumlah Petani Berkurang
Bisa jadi, petani merupakan salah satu profesi paling dihindari oleh anak muda masa kini. Entah karena jumlah pendapatan mereka yang tidak terlalu tinggi. Entah karena petani selalu dianalogikan dengan kaum marginal atau semacamnya. Saya sendiri tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Yang jelas, berdasarkan pengamatan saya selama hampir 20 tahun lebih tinggal di desa, sebagian besar petani yang ada saat ini adalah mereka yang putus sekolah dan tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Minat untuk menjadi petani di kalangan anak muda sangat rendah sekali. Padahal seperti halnya bidang lainnya, pertanian juga butuh regenerasi agar tidak mati.
Dan faktanya, di level perguruan tinggi, jurusan pertanian merupakan salah satu jurusan paling sepi peminat. Mengutip apa yang diberitakan di salah satu media online, fenomena penurunan minat pada jurusan pertanian mengalami peningkatan setiap tahunnya . Sepertinya, kalaupun bisa memilih, bisa jadi para lulusan SMA atau sederajat tidak banyak yang mau memilih jurusan pertanian sebagai tempat melanjutkan pendidikan.
Dan mungkin hal ini jugalah yang menyebabkan para sarjana pertanian enggan untuk berkarier di dunia pertanian. Karena sejak awal mereka masuk hanya karena terpaksa atau karena tidak bisa masuk di jurusan impian mereka, bukan karena benar-benar berminat untuk mendalami ilmu pertanian dan berkaya di bidang pertanian. Sangat disayangankan memang. Padahal tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemampuan menerapkan teknologi dan juga kemampuan untuk berinovasi. Yang keduanya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian.
3. Lahan yang Semakin Berkurang
Tidak bisa dipungkiri lagi, jumlah lahan persawahan semakin lama semakin berkurang setelah para kontraktor semakin rajin menanami sawah di sisi jalan dengan rumah-rumah. Dan sementara jumlah lahan persawahan terus berkurang, jumlah permintaan pangan dari hari ke hari semakin bertambah.
4. Cuaca yang Tak Menentu
Tidak menentunya cuaca juga turut mempengaruhi hasil panen para petani. Banyak sekali petani gagal panen karena masalah cuaca yang mendadak berubah. Kabar baiknya, meskipun cuaca akhir-akhir ini sangat mudah berubah, ada sekelompok mahasiswa ITS yang berhasil membuat kalendar ramalan hujan . Dan tentunya ini akan cukup membantu petani agar tidak mengalami gagal panen gara-gara salah memprediksi cuaca.
5. Minimnya Penggunaan Teknologi
Menurut apa yang telah saya saksikan selama 20 tahun belakangan ini, hampir tidak ada yang berbeda dengan proses pertanian sekarang dan proses pertanian pada masa 10-15 tahun silam. Mulai dari proses penanaman, pemupukan, pemanenan, pengolahan, semuanya sama. Singkat kata, hampir tidak ada proses inovasi dalam pertanian. Satu-satunya perubahan yang paling mudah dilihat mungkin hanya alat giling yang ‘sedikit’ lebih modern daripada dulu waktu saya masih kecil. Salah satu yang menyebabkan hal ini tidak lain adalah minimnya tingkat pendidikan dan minimnya akses informasi yang dimiliki para petani.
Sama halnya di level akademisi. Meskipun memiliki ilmu yang cukup, mahasiswa-mahasiswa pertanian masih sering berkarya sendiri tanpa berkolaborasi dengan mahasiswa-mahasiswa jurusan lainnya. Padahal untuk bisa membuat alat teknologi dan inovasi yang benar-benar tepat guna, mahasiswa pertanian tidak harus bekerja sendiri. Mereka bisa berkolaborasi dengan mahasiswa teknik maupun jurusan lainnya sesuai dengan bidang yang akan diteliti nantinya. Sehingga masalah-masalah seperti berkurangnya lahan dan minimnya teknologi sangat mungkin bisa diatasi.
6. Bidang Pertanian Minim Investasi
Sudah bukan rahasia lagi kalau sampai saat ini bank sangat sulit memberikan pinjaman kepada petani. Padahal untuk bisa berkembang, petani membutuhkan modal yang sama besarnya dengan pengusaha-pengusaha di bidang lainnya.
Pun jika selama ini dalam aktivitas bisnis-bisnis lain dikenal mentoring (pembimbingan), hal semacam ini jarang ditemukan dalam praktek bisnis di bidang pertanian. Khususnya di level petani rumahan. Alhasil, selama ini petani hanya fokus pada proses produksi. Sedangkan untuk proses pemasarannya mereka lebih banyak memasrahkannya pada tengkulak. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya menjadikan petani tidak pernah naik kelas dari level produsen. Dan secara tidak langsung, hal ini juga turut berpengaruh pada tingkat kesejahteraan para petani.
Untuk itu, dibutuhkan banyak kerjasama dari banyak pihak agar krisis pangan tidak pernah terjadi lagi di masa yang akan datang. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan meningkatkan derajat para petani. Anggapan bahwa petani itu hidupnya susah, tidak bisa sejahtera, dan tidak cukup mapan secara ekonomi harus dihilangkan. Petani harus diangkat derajatnya melalui pendidikan.
Kalau selama ini jurusan pertanian seringkali dikenal sebagai jurusan yang sepi peminat , semestinya pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini dengan memberikan subsidi berupa beasiswa penuh bagi putra-putri bangsa yang berminat untuk mengembangkan pertanian dengan syarat-syarat tertentu yang tidak begitu memberatkan. Dan kalau bisa, beasiswa yang disediakan tidak hanya berupa beasiswa untuk kuliah di dalam negeri saja, tapi juga berupa beasiswa untuk menempuh studi di luar negeri. Dengan begitu, yang kita impor dari negara maju nanti bukan lagi produknya, melainkan ilmunya.
Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan, meskipun mahasiswa pertanian paham tentang keilmuan di bidang pertanian, akan lebih baik jika mereka berkolaborasi dengan mahasiswa-mahasiswa jurusan lain jika memang ingin melakukan inovasi di bidang pertanian. Untuk membuat alat bantu pertanian misalnya, mahasiswa jurusan pertanian bisa menjalin kerjasama dengan mahasiswa teknik mesin. Untuk meningkatkan kualitas benih tanaman, mahasiswa pertanian bisa mengajak kerjasama mahasiswa jurusan biologi. Untuk meningkatkan efektivitas pupuk dan pembasmi hama, mahasiswa pertanian bisa berkolaborasi dengan mahasiswa jurusan kimia. Begitu seterusnya. Dengan begitu, semua masalah teknis yang selama ini terjadi dalam proses pertanian bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih baik.
Dan yang tak kalah penting, meskipun tanggung jawab terbesarnya adalah di tangan pemerintah, ketahanan pangan sesungguhnya merupakan tanggung jawab kita bersama. Karena dengan mengkonsumsi, kita berarti mengurangi jumlah bahan pangan. Dan itu turut mempengaruhi jumlah bahan pangan yang tersedia. Jangan pernah menghambur-hamburkan makanan. Ingat, di luar sana masih banyak orang yang tidak bisa makan.
Terakhir, pendidikan memang bukanlah satu-satunya solusi atas masalah pertanian saat ini. Ada banyak sekali solusi lain yang bisa ditawarkan. Salah satunya adalah seperti yang dijelaskan oleh Pak Rhenald Kasali dalam salah satu tulisan terbarunya . Satu yang harus kita ingat, meskipun bukan satu-satunya solusi, pendidikan adalah salah satu investasi terbaik yang bisa kita berikan bagi generasi penerus bangsa ini.
“Warisan terbaik yang bisa diberikan orang tua kepada anaknya adalah ilmu pengetahuan,” begitu guru saya pernah berpesan.
0 komentar:
Posting Komentar