Minggu, 18 November 2012

WISATA TAKENGON (Surga Buah dan Kopi Kelas Dunia)


DIENGPLATEAU.COM - Takengon, I am Coming! Ini adalah perjalanan pertamaku ke Takengon-Aceh Tengah. Sejak dulu aku memang sudah sangat mendambakan kunjungan ke wilayah yang dijuluki dengan "Syurga Buah-buahan" ini.

Keindahan alam Takengon dengan hawanya yang sejuk, semilir angin lembut, samar-samar kabut, pergunungan terjal dengan berbatuan dan danau laut tawar serasa menambah kesan eksotis tersendiri bagi tempat ini. 

Ketika aku memutuskan untuk berangkat mengunjungi daerah yang indah nan rupawan ini, aku nyaris tak bisa mendeskripsikan perasaan yang bergejolak bebas menimbulkan sensasi letupan-letupan di dalam hati, sungguh aneh, serasa campur aduk. Di satu sisi, aku merasa sangat girang akan kunjunganku ke Takengon namun di sisi lain ada sedikit perasaan was-was mengingat perjalanan yang akan ditempuh cukup jauh dan rute jalan darat yang terjal sungguh membutuhkan kinerja adrenalin yang tinggi. Namun, sebagai penikmat tantangan, perjalan semacam ini merupakan kesempatan yang tak tergantikan dan sayang jika terlewatkan. Keindahan alam Aceh-Takengon wajib dinikmati oleh semua orang diseluruh nusantra terutama bagi para pecinta travelling.


Perjalanan dari Banda Aceh menuju Takengon memakan waktu (±) 9 jam dengan menggunakan mobil L300. Perjalanan selama 9 jam tersebut sungguh "luar biasa", ketika setiap kali mata dapat memandang jejeran perpohonan rindang, air sungai yang mengalir deras, pergunungan terjal nan kokoh, disertai dengan siulan beburungan, hawa sejuk dengan sekilas sapuan kabut tipis. Benar-benar berbanding terbalik dengan aktifitas sehari-hariku yang bergelut dengan lingkungan penuh polusi, hiruk pikuk manusia, gemuruh suara kendaraan, kemacetan, sinar radikal bebas dan berbagai hal lainnya yang jauh dari hal yang dapat menenteramkan jiwa. Namun, kegalauan semacam itu akan segera sirnah seketika alam Takengon ditapaki.


Setelah menghabiskan waktu nyaris sehariaan penuh untuk menempuh perjalanan, dari pagi hingga petang, aku memutuskan untuk menghabiskan sisa malamku  mengistirahatkan diri dari lelahnya perjalanan yang penuh tantangan di penginap ‘MAHARA’. Sesampai di sana, sembari membuka pintu mobil, serta merta hawa dingin menyelimuti sekujur tubuh yang telah letih, “Ini mah freezer”, gumamku di dalam hati. 

Mahara merupakan salah satu penginapan yang letaknya cukup strategis di wilayah Takengon, selain berada di sekitar kawasan perkotaan, posisi penginapan ini persis menghadap danau laut tawar. Pemandangan terelok dapat kita temui dilantai tiga sehingga tidak mengherankan jika tempat sarapan pagi yang terletak dilantai tiga penginapan menjadi salah satu tempat favoritku kala itu.

Keesokan harinya, aku beserta teman-teman memutuskan untuk berjalan-jalan ke kebun buah-buahan dan kopi, namun sebelum berangkat ke sana, kami telah disuguhi secangkir kopi hitam khas Takengon ditemani dengan nasi guri khas Aceh sebagai menu pembuka sarapan di pagi hari. 

Warnanya hitam sepekat malam tak berbintang, keharumannya sungguh menggoda iman, dengan remah-remah halusnya yang sesekali muncul di pinggiran cangkir menciptakan sebuah sekenario sempurna suatu kelezatan mencicipi kopi Takengon perdana yang telah terasa nikmatnya bahkan sebelum tegukan pertama.

Kebun Buah di Tanah Syurga

Perjalanan menuju perkebunan kali ini menghabiskan waktu sekitar (±) 2 jam dari penginapan jika ditempuh dengan menggunakan bus. Sesampai di sana, aku mulai mengendus-endus aroma yang sangat segar, saat itu kukira merupakan aroma parfum milik salah satu temanku yang berada di dalam bus, namun diluar dugaan semerbak wewangian justru berasal dari bunga-bunga yang tumbuh di depan rumah para warga.

Ternyata kami tidak langsung dibawa ke perkebunan namun justru singgah di tempat perumahan warga, agaknya nuansa kekeluargaan masih terasa kental di sini. Sudah menjadi suatu kebiasaan orang-orang di sini untuk menjamu tamu dengan secangkir kopi. Untukku, ini merupakan cangkir kopi kedua pada hari yang sama. Terdapat sedikit perbedaan rasa antara kopi yang kucicipi di penginapan dengan kopi yang disajikan warga. Aku menduga bahwa perbedaan ini bukan terletak pada perbedaan jenis kopi yang digunakan namun pada cara penyajiannya. Dugaan itu tak meleset. 

Air yang digunakan untuk merebus kopi merupakan air hasil rebusan dengan menggunakan kayu bakar, air rebusan itu ditabahi beberapa lembar daun pandan sehingga aroma dan cita rasa kopi khas pedesaan terasa lezat di lidah. Agaknya aku mulai kecanduan kopi.

Setelah berkenalan dan menerima jamuan dari para warga, aku bersama teman-teman melanjutkan perjalanan menuju perkebunan.  Sekitar 300 meter tak jauh dari rumah warga, perkebunan dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. 

Sekejap mata memandang, terperangah, menyaksikan perpohonan kopi terbentang di depan mata, cukup luas.  Kali ini asli, bukan sekedar ilusi dari layar televisi.  “Ini kopi?”,tanyaku polos.  “Iya, kalo yang kulitnya merah udah bisa dimakan” jawab salah satu warga yang mengantarkan kami ke perkebunan. “Kok di makan? Bukannya pahit? Terus kok bentuknya bulat-bulat gini gak kayak di TV?”, kurasa kali ini pertanyaanku meradang nyaris memalukan. Pada hari itu, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa menjadi anak kota itu tidaklah keren jika tak tahu keadaan alam nyata.

Dengan sabar, sebut saja bang DOLAH, menjelaskan bahwa yang diproses menjadi kopi itu bijinya sedangkan daging buahnya bisa dihisap seperti permen dan manis rasanya. Penasaran kucoba memakannya, beberapa biji kopi yang tampak ranum kupetik. Kupisahkan daging buah dari kulitnya dengan cara menjepitnya dengan kedua ujung jari telunjuk dan ibu jari. Tanpa ragu kumasukkan tiga buah kopi sekaligus ke dalam mulut. Benar saja, rasanya manis dengan aroma kopi yang khas. Setelah rasa manisnya hilang, maka munculah biji kopi yang sering kulihat di iklan televisi. “Lho… warnanya kenapa krem? Pucat pula ni. Bukannya seharusnya warna biji kopi itu  hitam kecoklatan seperti ikl….. ”, belum habis perkataan yang kulanturkan, sorot mata teman-teman seakan memberi peringatan untuk menyimpan kata ‘iklan di TV’ rapat-rapat. Mungkin mereka bosan mendengar reverensi tak berbobot yang tak jauh dari dua kata ‘iklan’ dan ‘TV’.  Aku menyerah, terlalu banyak hal yang ingin kuketahui dikarenakan ketidaktahuanku namun kali ini diam lebih baik.  

Kuhibur diriku dengan menelusuri perkebunan jeruk dan alvokat yang tak jauh dari perkebunan kopi. Sepertinya kali ini aku beruntung, buah jeruk dan alvokat saat itu sudah mendekati masa panen. Aroma jeruk ranum yang tampaknya begitu manis seakan terasa dimulutku bahkan sebelum aku sempat mencicipinya. Tak kalah, alvokat Takengon yang sangat terkenal di seluruh penjuru Aceh karena rasanya yang manis dan tekstur daging buahnya yang halus tanpa serat berada tepat disekitar kakiku, tergeletak tak berdaya di bawah perpohonan alvokat yang rindang, bahkan sangat banyak. Belum habis rasanya pesona buah alvokat, terlintaslah pemandangan langka  yang membuatku kegirangan, pohon terong belanda yang siap panen.  Oh Tuhan, inikah sebongkah tanah syurga yang Engkau titipkan?, gumamku di dalam hati sembari memetik buah-buahan segar itu untuk dibawa pulang ke penginapan, tentunya sebagai oleh-oleh dari warga sekitar. 

Tak Usah ke Takengon Jika Tak Kenal Bergendaal  Koffie 

Statemen di atas layak untuk diancungkan jempol, bagaimana tidak, jika saja bang Dolah dan teman-temannya tidak mengajak kami ke sini maka sungguh merugilah traveling kali ini. Bergendaal merupakan sejenis kafetaria yang menyediakan berbagai jenis kopi, baik lokal maupun jajaran internasional bahkan kopi luak yang dikenal oleh masyarakat seantero dunia. Tata cara penyajian kopi pun tampak cukup berkelas, sehingga kesempatan sakral semacam ini tak boleh dilewatkan dan akhirnya dengan senang hati kuputuskan untuk meneguk cangkir ketiga kopi khas Gayo ini yang berlebelkan Arabika tentunya masih pada hari yang sama.  

Malam menjelang, sebelum meninggalkan Bergendal Koffie, bang dolah beserta teman-temannya mengajak kami untuk melihat proses penyetiman kopi, tempatnya tak jauh, hanya bersebelahan dengan Bergandal.  Saat melangkah masuk, aku terpesona dengan jajaran toples besar berisikan berbagai jenis kopi beserta lebel-lebel tahapan proses yang telah ditempuh.  Sebagai contoh, terdapat lebel ‘kopi luak asli’ sebagai pertanda kopi luak tersebut masih benar-benar asli dan belum diproses sama sekali, atau lebel ‘setelah penjemuran’ hingga proses penyetiman. Seluruh jejeran tulisan pada lebel-lebel tersebut menjelaskan seluruh hasil dari proses pengolahan biji kopi. Ini sungguh luar biasa!

Kuliner Khas Takengon

Setelah lelah menempuh perjalanan dari perkebunan, inilah saat yang ditunggu-tunggu, mencari tempat kuliner yang tepat untuk memilih menu makan malam yang lezat. Kala itu aku memilih menu nasi putih, ayam bakar dan kuah sayur ikan deupik-asam jeng. Ikan deupik merupakan salah satu menu khas Takengon. Ikan ini sangatlah legendaris dan hanya dapat ditemui di danau laut tawar.  Tentu tak akan lengkap rasanya perjalanan ini jika menu tersebut tak sempat tercicipi.

Di samping  menu makanan yang khas, ada hal menarik lainnya yaitu jus buah-buahan Takengon yang super segar dan tak tertandingi kelezatannya. Namun dari keseluruhan keindahan alam Takengon dan kelezatan kulinernya, terdapat satu hal yang luput dari pantauan dan mungkin sedikit sulit untuk ditemukan yaitu air kelapa muda. 
    
Danau Laut Tawar

Jika pada malam harinya aku telah bercerita tentang ikan deupik khas laut tawar. Maka kali akan aku ceritakan betapa indah laut tawar itu. Keesokan harinya, menjelang petang, kami memutuskan untuk mengunjungi danau laut tawar. Saat itu cuaca sedikit mendung,hawa sejuk dan semilir angin lembut melebur menjadi satu. 

Inilah danau laut tawar yang mempesona itu, sedikit pun tak meleset dari pembicaraan orang-orang, sungguh indah. Airnya yang jernih dan pergunungan kokoh yang mengelilingi danau ini menambah kesan eksotis tersendiri bagi eksistensinya. Belum lagi suasana sunset di sekitar danau, sungguh akan menumbuhkan kesan romantisme yang amat manis. 

Demikianlah perjalanan singkat  penuh tantangan dan kenangan  yang sempat kurasa setelah Takengon berhasil kutapaki dipenghujung tahun 2011 silam. Aku akan penasaran pada mereka yang terinspirasi untuk mengunjungi Takengon setelah membaca artikel ini karena mereka akan mendapatkan satu bingkisan kecil yang layak untuk dibawa pulang  yakni KEPUASAN. 

1 komentar:

  1. Kopi di Takengon memang sangat terkenal karena sudah menjadi Kopi Nusantara dan bahkan mendunia karena sebagian besar di eksport untuk keperluan dalam dan luar negeri sehingga kopi Gayo menjadi berbagai merk dagang mejadi berasal dari daerah masing masing yang mengolahnya walau aslinya berasal dari daerah Gayo Aceh Tengah dan sekitar di Nangro Aceh Darussalam Sumatera. kopi Gayo memang kopi yang kelas satu seperti halnya kopi kopi yang kelas satu di nusantara dan bahkan di dunia ini.

    BalasHapus

 

Copyright © Hidupku Inspirasiku Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger